Selasa, 29 Mei 2012

urutannama pacarHobby Pacar
pertamaItaTinju
keduaMitabegadang
ketigaMianonton film perang
keempatTamiTidur
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah dipahami. Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat dia sedang berbicara.
Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP, khususnya keterampilan berbicara, belum seperti yang diharapkan. Kondisi ini tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru (Depdiknas 2004:9).
Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan fenomena yang hampir sama. Keterampilan berbicara siswa SMP berada pada tingkat yang rendah; diksi (pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancu, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesif.
Demikian juga keterampilan berbicara siswa SMPN. Berdasarkan hasil observasi, hanya 20% (8 siswa) dari 40 siswa yang dinilai sudah terampil berbicara dalam situasi formal di depan kelas. Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam berbicara, di antaranya kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.
Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur.
Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.
Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata (Nurhadi, 2000).
Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP akan terus berada pada aras yang rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi) yang tepat, menyusun struktur kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan interaktif pada saat berbicara.
Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung aktif, efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan. Pembelajaran keterampilan berbicara pun menjadi sajian materi yang selalu dirindukan dan dinantikan oleh siswa.
Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa SMPN, dalam berbicara, yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan
membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif.
Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam situasi dan konteks komunikasi alamiah senyatanya.
Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan; (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikatif.
Melalui prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara diharapkan mampu membawa siswa ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif.
Melalui penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara, para siswa SMP akan mampu menumbuhkembangkan potensi intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam dirinya, sehingga kelak mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara matang, arif, dan dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.

1.2 Perumusan dan Pemecahan Masalah
1.2.1 Perumusan Masalah
1.1 Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP?
1.2 Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP?
1.2.2  Pemecahan Masalah
1.3  Tujuan Penelitian
3.1 untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP;
1.    untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa SMP setelah pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia.
1.4  Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1 Para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara, khususnya bagi siswa SMP;
2 Keterampilan berbicara siswa SMPN,  yang menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan;
3 Para guru bahasa Indonesia SMP diharapkan menggunakan pendekatan pragmatik dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru bahasa Indonesia di tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti SD/MI, atau yang lebih tinggi, seperti SMA/SMK/MA, diharapkan juga menggunakan hasil penelitian ini dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia.
BAB II
E. Kajian Teori dan Pustaka
Untuk mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP digunakan teori yang berkaitan dengan keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP.
I.1 Keterampilan berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Saat ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam tujuan pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Secara garis besar, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anak-anak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan media bahasa Indonesia (Samsuri, 1987 dan Sadtono, 1988).
Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti
1.    Menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan
2.    Membuat surat lamaran pekerjaan
3.    Berbicara di depan umum atau berdiskusi
4.    Berpikir kritis dan kreatif dalam membaca
5.    Membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apa pun bahan atau aturan-aturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu.
Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu diharapkan:
1.    Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri;
2.    Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik
dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
1.    Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
2.    Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
3.    Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan
(6) Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan:
1.    berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis;
2.    menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara;
3.    memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan;
4.    menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial;
5.    menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
1.    menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Sedangkan, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen- kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek:
(1) mendengarkan;
(2) berbicara;
(3) membaca; dan
(4) menulis.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib dikembangkan di SMP. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan aspek keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis.
Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/MTs kelas VII semester berdasarkan Standar Isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas VII Semester I Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara
2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan menyampaikan pengumuman
2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif
2.2. Menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana
Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa pada semester I, siswa kelas VII SMP diharapkan mampu mengembangkan dua kompetensi dasar, yaitu:
(1) menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif; dan
(2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengembangkan kompetensi dasar siswa kelas VII semester I dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.
Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk:
1.    berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku secara lisan;
2.    menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa
negara;
1.    memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan;
2.    menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144) dijelaskan bahwa berbicara adalah “berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding”. Sementara itu, Tarigan (1983:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara
menyatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasangagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau katakata untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otototot dan jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara juga
dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis, neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa berbicara pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dalam konteks demikian, keterampilan berbicara bisa dipahami sebagai keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan jeda. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, aktivitas berbicara dapat diekspresikan dengan bantuan mimik dan pantomimik pembicara.
Merujuk pada pendapat tersebut, keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain.
I.2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna L. Matlin, 1989:2).
Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan pembelajaran karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang
kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001).
Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001).
Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih cenderung bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks komunikasi.
Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.
Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan pendekatan yang inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP bisa berlangsung dalam suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik, dan menyenangkan. Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan dapat menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan
emosional, sehingga mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan konteks dan sitiuasinya.
Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP/MTs. Dalam lampiran tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu menciptakan suasana yang kondusif; interaktif,
dinamis, terbuka, inovatif, kreatif, menarik, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik.
Pendekatan pragmatik termasuk salah satu pendekatan komunikatif yang mulai digunakan dalam pengajaran bahasa sejak munculnya penolakan terhadap paham behaviorisme melalui metode Drill-nya. Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah communicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang
tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:4).
Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang bermakna dalam bahasa sasaran. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan bahasa seseorang, sedangkan faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua macam lagi, yaitu lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri atas:
1.    kealamiahan bahasa,
1.    peranan anak-anak dalam berkomunikasi,
2.    tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk menjelaskan makna, dan
3.    ketersediaan model atau contoh yang bisa ditiru.
Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas tempat anak-anak belajar, yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak bisa belajar keterampilan berbahasa, bukan hanya tahu tentang bahasa saja. Dari berbagai penelitian tentang pengajaran bahasa disimpulkan bahwa keterampilan berbahasa anak, khususnya keterampilan berbicara, dikembangkan melalui tiga cara, yaitu:
(1) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan memproduksi ujaran dalam bahasa target secara lebih sering, lebih tepat, dan dalam variasi yang luas;
(2) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan cara mengolah input dari ujaran orang lain; dan
(3) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya melalui pelibatan diri dalam tugas atau interaksi yang menuntut adanya kemampuan kreatif berkomunikasi dengan orang lain (Ellis, 1986).
Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian pengajaran bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang lambat belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam berkomunikasi menggunakan bahasa.
Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam pembelajaran bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara nyata. Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru tentang pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku aktif ini dengan perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam bidang pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang menekankan pada pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap, membaca, atau menulis yang sebenarnya).
Pembelajaran kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir pencapaian pembelajaran bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri:
1.    makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk;
2.    konteks itu penting, bukan item bahasa;
3.    belajar bahasa itu belajar berkomunikasi;
4.    target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi hambatan berkomunikasi;
5.    kompetensi komunikatif menjadi tujuan utama, bukan kompetensi kebahasaan;
6.    kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar ketepatan bahasa. Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa lain (Brown, 2001:45).
Penggunaan pendekatan paragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga dilandasi oleh semangat pembelajaran kontruktivistik yang memiliki ciri-ciri:
perilaku dibangun atas kesadaran diri;
1.    keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman;
2.    hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik;
3.    seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya;
4.    pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata;
5.    siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran;
6.    pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete);
7.    siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi;
8.    hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber;
9.    pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:21-22).
Penggunaan pendekatan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga didasari oleh prinsip bahwa guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis.
Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan.
Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas terjadi suasana interaktif sehingga tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai “pemicu” kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.
Ciri lain yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu meliputi dua macam, yaitu:
1.    berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud; dan
2.    berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian disebut konteks (contex) (Rustono 1999:20). Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar apabila diketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan diucapkan, dan lain-lain (Lubis 1993:57).
Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.
Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu. Menurut Hymes (1968) (melalui Rustono 1999:21), faktor-faktor itu berjumlah delapan, yaitu:
1.    latar atau scene, yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur;
1.    participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain;
2.    end atau tujuan;
3.    act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur;
4.    key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikannya;
1.    instrument, yaitu alat elalui telepon atau bersemuka;
2.    norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur; dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan, seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal, yaitu penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Di dalam novel, konteks tuturan tampak pada dialog antartokoh yang memenuhi ciri-ciri konteks sebagaimana dikemukakan oleh Hymes (1968).
Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi situasi tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai. Pertanyaan apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis atau fenomena semantis dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur. Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam menentukan maksud suatu tuturan.
Menurut Leech (1983:13-15), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Di dalam peristiwa komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti. Yang semula berperan sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat menjadi mitra tutur, demikian pula sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban. Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks tuturan. Di dalam tata bahasa, konteks tuturan mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut dengan ko-teks, sedangkan konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik, konteks berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.
Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki tujuan. Hal ini berarti tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Di dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk
mencapai suatu tujuan.
Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Yang berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia.
Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan menendang adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah tindakan verbal, yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan pragmatik sebagai inovasi dalam pengajaran keterampilan berbicara di SMP dimaksudkan untuk melatih dan membiasakan siswa untuk berbicara sesuai dengan konteks dan situasi tutur senyatanya sehingga siswa dapat memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari.

Rabu, 09 Mei 2012

foklor

AsFolklor merupakan hazanah sastra lama. Sastra folklor ini berkembang setelah William John Thoms, seorang ahli kebudayaan antik dari Inggris mengumumkan artikelnya dalam majalah Athenaeum No. 982 tanggal 22 Agustus 1846, dengan mempergunakan nama samaran Ambrose Merton.
Dalam majalah tersebut Thoms menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada, dan tentang masa lampau. Sejak itulah folklore menjadi istilah baru dalam kebudayaan. Secara etimologi, folk artinya kolektif, atau ciri-ciri pengenalan fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakt, sedangkan lore merupakan tradisi dari folk. Atau menurut pendapat Alan dalam Danandjaja (1997: 1) folklor adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenalan fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.
Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaja (1997: 2) sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Menurut pendapat Soeryawan (1984: 21) folklor adalah bentuk kesenian yang lahir dan menyebar di kalangan rakyat banyak. Ciri dari seni budaya ini yang merupakan ungkapan pengalaman dan penghayatan manusia yang khas ialah dalam bentuknya yang estetis-artistis. Karena di dalam melaksanakan hubungan-hubungan yang komunikatif, seni mengungkapkannya melalui bentuk-bentuk estetis yang dipilihnya.
Pendapat Rusyana ( 1978: 1) folklor adalah merupakan bagian dari persendian ceritera yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat.
Sedangkan menurut pendapat Iskar dalam H.U. Pikiran Rakyat (22-Januari-1996) folklor adalah kajian kebudayaan rakyat jelata baik unsur materi maupun unsur nonmaterinya. Kajian tersebut kepada masalah kepercayaan rakyat, adat kebiasaan, pengetahuan rakyat, bahasa rakyat (dialek), kesusastraan rakyat, nyanyian dan musik rakyat, tarian dan drama rakyat, kesenian rakyat, serta pakaian rakyat.
Folklor memang mengkaji seni, sebab menurut pendapat Fischer (1994: folklore the study about art, but, unfortunately, folk art scholarship has tended to lag behind mainstream folkloristic. One reason for this is that the bulk of folk art discussion tends to be purely descriptive rather than analytic.
Adapun menurut pedapat Harvey (1955: 294) bahwa folklore the traditional beliefs, legends, and customs, current among the common people and the study of them.

Ciri-ciri Folklor
Kedudukan folklor dengan kebudayaan lainnya tentu saja berbeda, karena folklor memiliki karakteristik atau ciri tersendiri. Menurut pendapat Danandjaja (1997: 3), ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan sebagai berikut
a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
b. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
c. Folklor ada (exis) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation).
d. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
e. Folkor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Dan selalu menggunakan kata-kata klise.
f. Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
h. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidakdiketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
i. Folklor pada umumnya bersifar polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manisfestasinya.

Folklor pada Masyarakat Sunda
Folklor pada masyarakat Sunda, sama dengan folklor dengan daerah lain, yiatu terbagi menjadi folklor lisan (verbal folklore), folklor setengah lisan (partly folklore), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklore).

1. Folklor Lisan (Verval Folklore)
Menurut pendapat Rusyana (1976: ) folklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagai kekayaan budaya khususnya kekayan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat.
(1) Cerita Prosa Rakyat (Dongeng)
Sekelompok cerita tradisional Sunda dalam sastra Sunda istilahnya adalah dongeng (Rusyana, 2000: 207).
Dongeng merupakan cerita prosa rakyat. Karena menurut pendapat Rusyana (2000: 207) istilah dongeng digunakan untuk menyebut sekelompok serita tradisional dalam sastra Sunda. Di dalam sastra Sunda terdapat jenis cerita yang diketahui sudah tersedia dalam masyarakat, yang diterima oleh para anggota masyarakat itu dari generasi yang lebih dulu. Dongeng dituturkan oleh seseorng kepada yang lainnya dengan menggunakan bahasa lisan.
Jenis-jenis dongeng menurut Rusyana (2000: 208), yaitu (1) dongeng mite, (2) dongeng legenda, dan (3) dongeng biasa.

a. Dongeng mite
Dongeng mite ialah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supernatural dengan latar suci dan waktu masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang membayangkan kejadian berkenaan dengan penciptaan semesta dan isinya, perubahan dunia, dan kehancuran dunia. Masyarakat pendukung (pemilik) mite biasanya menganggap cerita itu sebagai suatu yang dipercayai (Rusyana, 2000: 208-209).

b. Dongeng legenda
Dongeng legenda ialah cerita tradisional yang pelakunya dibayangkan sebagai “pelaku dalam sejarah” dengan latar yang juga dibayangkan terdapat di dunia itu dan waktu di masa lalu, tetapi bukan masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam peristiwanya terdapat juga hal-hal yang luar biasa (Rusyana, 2000; 210).

c. Dongeng biasa
Dongeng baiasa adalah yang dalam leteratur lain disebut sebagai dongeng tau folktale, yaitu cerita tradisional yang pelaku dan latarnya dibayangkan seperti dalam keadaan sehari-hari, walaupun sering juga mengandung hal yang ajaib. Waktunya dibayangkan dahulu kala. Oleh masyarakat pemiliknya cerita jenis ini tidak diperlakukan sebagai suatu kepercayaan atau suatu yang dibayangkan terjadi dalam sejarah, melainkan diperlakukan sebagai cerita rekaan semata-mata (Rusyana, 2000: 211).
Lebih lanjut Rusyana menjelaskan, bahwa dalam sastra Sunda dongeng-dongeng itu dapat digolongkan lagi ke dalam:
Cerita karuhun
Cerita yang pelakunya manusia yang berperan sebagai pendahulu dan perbuatannya dianggap bermanfaat bagi suatu kelompok masyarakat. Masyarakat menganggap tokoh cerita itu sebagai karuhun, yaitu nenek moyang atau sesepuh yang sudah meninggal, dan menghormatinya (Rusyana, 2000: 212).

(1) Cerita kajajaden
Cerita yang pelakunya manusia yang setelah meninggal kemudian berperan sebagai binatang jadi-jadian (Rusyana, 2000: 212).

(2) Cerita sasakala
Cerita yang peranan pelaku utamanya atau pelaku lain yang berupa benda dianggap sebagai asal-usul suatu keadaan atau suatu nama (Rusyana, 2000: 213).

(3) Cerita dedemit
Cerita yang pelaku utamanya dedemit atau siluman, perannya biasanya menghukum pelaku manusia yang melanggar larangan atau kebiasaan di suatu tempat (Rusyana, 2000; 213).

2. Puisi Rakyat
Sajak atau puisi rakyat adalah kesustraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkn mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdsarkan irama (Danandjaja, 1997: 46).
Pada folklor Sunda ada dua bentuk puisi Sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah bentuk ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang Karesian yng ditulis tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan. Rajah adalah semacam doa keselamatan dari juru pantun sebelum dan sesudah menuturkan cerita pantun Sunda. Bentuk rajah ini sama belaka dengan bagian cerita pantun yang disebut nataan (Wibisana, 2000: 263).
Conto puisi rakyat: pantun, wawacan, dan jampe-jampe.

3. Bahasa Rakyat (folkspeech)
Bentuk-bentuk folklor Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat (dialect) bahasa-bahasa Nusantara, misalnya logat bahasa Jawa dari Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh bahasa Sunda; atau logat bahasa Sunda dari Banten; atau logat bahasa Jawa Cirebon, dan logat bahasa Cirebon Sunda (Danandjaja, 1997: 22-23).
Selain itu bahasa rakyat di tatar Sunda disebut juga bahasa wewengkon, contohnya basa wewengkon Bogor (contoh: topo, sodet, pelanding, dll), basa wewengkon Kuningan (contoh: ula, teoh, menit, ageh, dll.), basa wewengkon Banten (contoh cawene, kotok, dia, dll), dan basa wewengkon lainnya.

4. Ungkapan Tradisional
Ungkapan tradisional atau peribahasa sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut Archer Taylor peribahasa tidak mungkin diberi definisikan (Danandjaja, 1997: 28).
Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, yang perlu diperhatikan oleh mereka yang hendak menelitinya: (a) peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional saja; (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar; dan (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan (Danandjaja, 1997: 28).
Contohnya: paribasa (peribahasa), babasan, papatah, dan pamali.

5. Pertanyaan Tradisional
Pernyataan tradisional di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki, adalalah pertanyaan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang tradisional pula (Danandjaja, 1997: 33).
Contohnya: tatarucingan dan sisindiran.

6. Nyanyain Rakyat
Nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brudvand dalam Danandjaja, 1997: 141).
Contohnya: kakawihan urang lembur (tokecang, endeuk-eundeukan, ayang-ayagung, prang-pring, bulantok, cing cangkeling, dll.), kagu-kagu gondang, lagu-lagu calung, lagu-lagu celempungan, lagu pa nyawer, lagu pangjampe, dll.

Folklor Setengah Lisan (Partly Verbal Folklore)
a. Kepercayaan dan tahayul
b. Permainan (kaulinan) rakyat dan hiburan-hiburan rakyat
c. Drama rakyat Seperti: wayang golek, sandiwara, reog, calung, longser, banjet, ubrug, dll.
d. Tari Seperti: tari tayub, tari keurseus, tari ronggeng gunung, tari topeng, dll.
e. Adat atau tradisi
Contohnya: tradisi upacara menanam padi, tradisi orang hamil hingga malahirkan, tradisi pernikahan, tradisi khitanan, tradisi membangun rumah, tradisi ruatan, dll
f. Pesta-pesta rakyat
Contohnya: pesta rakyat kawaluan Baduy, pesta rakyat ngalaksa di Rancaklong dan Baduy, pesta rakyat seba laut di pesisir pantai selatan, pesta rakyat kawin tebu di Majalengka, pesta rakyat seren taun di Ciptarasa dan Baduy, pesta rakyat mubur sura di Rancakalong.
Folklor Bukan Lisan (Nonverba Folklore)
Folklor bukan lisan dapat dibagi menjadi dua golongan/bagian, yaitu
a. Folklor yang materiil
b. Folklor yang materiil
Folklor Materiil
a. Arsitektur rakyat
Seperti: bentuk julang ngapak, tagog anjing, sontog, duduk jandela, dll.
b. Seni kerajinan tangan
Seperti: seni batik, anyaman, patung, ukiran, bangunan, dll.
c. Pakaian dan perhiasan
Seperti: Kebaya, baju kampret, totopong, bendo, pendok, giwang, penitik, kalung, gengge, siger, mahkuta, kelom geulis, payung, dll.
d. Obat-obat rakyat
Seperti: jamu-jamuan, daun-daunan, kulit pohon, buah, getah, dan jampe-jampe.
e. Makanan dan minuman
Seperti: awug, tumpeng, puncakmanik, dupi, lontong, ketupat, angleng, wajit, dodol, kolotong, opak, ranginang, ulen, liwet, kueh cuhcur, surabi, bakakak, dadar gulung, aliagrem, dan minuman: lahang, wedang, bajigur, bandrek, dll.
f. Alat-alat musik
Seperti: kacapi, suling, angklung, calung, dogdog, kendang, gmbang, rebab, celempung, terebang, tarompet, dll.
g. Peralatan dan senjata
Seperti: rumah tanga; nyiru, dingkul, ayakan, sirib, dulang, dll. Alat pertanian: pacul, parang, wuluku, garu, caplakan, kored, congrang, patik, dekol, balicong, bedog, peso raut, peso rajang, arit, dll. Senjata: tombak, paser, ketepel, sumpit, badi, keris, dll.
h. Mainan
Seperti: ucing sumput, pris-prisan, engkle-engklean, sondah, sapintrong, congklak, damdaman, kasti, langlayangan, papanggalan, luncat galah, kukudaan, dll.

Folklor Bukan Materil
a. Bahasa isyrat (gesture)
Seperti: bersiul, mengacungkan jempol, mengedipkan mata, melambaikan tngan, mengangguk, menggeleng, mengepalkan tangan, dll.
b. Laras musik
Seperti: laras salendro, laras pelog, laras dedegungan, laras madenda, dll.




OLKLOR
A. Pengertian Folklor
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklornya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklore. Folklor ialah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.Dapat juga diartikan Folklor adalah adat-istiadat tradisonal dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, dan tidak dibukukan merupakan kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun.

Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.

B. Ciri-ciri folklore
 Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya, harus diketahui ciri-ciri utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
(a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
(b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
(c) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.
(d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya.
(e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).
(f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam.
(g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
(h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.
(i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang jujur.



C. Jenis-jenis Folklor
Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a. Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut:
(1) bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;
(2) ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;
(3) pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
(4) sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;
(5) cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;
(6) nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari Betawi.

b. Folklor sebagian Lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:
(1) kepercayaan dan takhayul;
(2) permainan dan hiburan rakyat setempat;
(3) teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
(4) tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
(5) adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
(6) upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
(7) pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.

c. Folklor Bukan Lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:
(1) arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;
(2) seni kerajinan tangan tradisional,
(3) pakaian tradisional;
(4) obat-obatan rakyat;
(5) alat-alat musik tradisional;
(6) peralatan dan senjata yang khas tradisional;
(7) makanan dan minuman khas daerah.
D. Fungsi Folklor
Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.
b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
c. Sebagai alat pendidik anak.
d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Sebagaimana telah dikemukakan, manusia praaksara telah memiliki kesadaran sejarah. Salah satu cara kita untuk melacak bagaimana kesadaran sejarah yang mereka miliki ialah dengan melihat bentuk folklor. Bentuk
folklor yang berkaitan dengan kesadaran sejarah adalah cerita prosa rakyat. Termasuk prosa rakyat antara lain mite atau mitologi dan legenda.
TAHUKAH ANDA, BUKU BSE DAPAT DIMILIKI SIAPA SAJA SECARA GRATIS TANPA MELANGGAR HUKUM ?
SEGERA KLIK DISINI UNTUK DOWNLOAD BUKU BUKU BSE LEWAT ARSIP KAMI

Demikian artikel tentang "Pengertian, Ciri-ciri, jenis-jenis dan Fungsi Folklor" yang datanya kami dapatkan dari buku-buku BSE dengan judul "SEJARAH" karya hendrayana, "SEJARAH 1" karya Dwi Ari Listiani, "SEJARAH 1" karya Tarunasena dan dari "CAKRAWALA SEJARAH" karya Wardhani. Semoga Bisa membantu kalian semua.

Pengertian Folklor
Folklor merupakan pengindonesiaan kata “Folklore” yang mulanya dari bahasa Inggris yang majemuk yaitu “folk” dan “lore”. Pengertian Folk adalah sekelompok orang (entitas) yang memiliki ciri-ciri tertentu sebagai pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan. Dengan pengenal fisik tersebut, maka kelompok itu dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, bahasa, mata pencaharian, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, ciri pengenal yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Dengan adanya ciri pengenal itu, mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri.
Kata “lore” lebih merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Dengan begitu, folklore itu sendiri mempunyai ciri-ciri tertentu pula yaitu :
(http://www.sentra-edukasi.com/2011/06/pengertian-ciri-ciri-jenis-jenis-dan.html)
1.    Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
2.    Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
3.    Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.
4.    Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya.
5.    Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).
6.    Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam.
7.    Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
8.    Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.
9.    Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau malah terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang jujur.
Folklore berfungsi sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif (kelompok tertentu), dan dapat sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Selain itu folklore juga berfungsi sebagai alat pendidik anak maupun sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Jenis-jenis Folklor
a. Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut:
1.    bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;
2.    ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;
3.    pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
4.    sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;
5.    cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;
6.    nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari Betawi.
b. Folklor sebagian Lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:
1.    kepercayaan dan takhayul;
2.    permainan dan hiburan rakyat setempat;
3.    teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
4.    tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
5.    adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
6.    upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
7.    pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.
c. Folklor Bukan Lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:
1.    arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;
2.    seni kerajinan tangan tradisional,
3.    pakaian tradisional;
4.    obat-obatan rakyat;
5.    alat-alat musik tradisional;
6.    peralatan dan senjata yang khas tradisional;
7.    makanan dan minuman khas daerah.
Jadi, folklor itu sendiri bukan hanya sekedar pesta seni dan pertunjukan musik. Kehidupan sehari-hari yang dijalankan sebuah kelompok masyarakat itu sendirilah yang dapat dikatakan Folklor.
Bokor Folklore Festival 2012
Bokor Folklore Festival 2012
akan menjelang pada Juni 2012
Menuju Muara Kegemilangan Negeri
Bokor Folklore Festival 2012 adalah pesta rakyat seni dan pertunjukan musik yang akan dilaksanakan di Desa Bokor Kec. Rangsang Barat Kabupaten Kepulauan Meranti, pada tanggal 20 s.d. 22 Juni 2012. Festival kali ini, merupakan lanjutan dari Fiesta Bokor Riviera 2011 yang diusahakan pelaksanaannya bersamaan dengan musim buah-buahan. Seperti kagiatan yang pertama, Festival Seni dan Pertunjukan Musik ini akan dijamu dengan buah-buahan tropika seperti Durian, cempedak, Manggis dan sebagainya. Pertunjukan seni dilakukan oleh para penggiat seni dari Propinsi Riau, Propinsi Kepulauan Riau, dan selain itu Festival ini juga akan dihadiri oleh grup musik tradisi dari berbagai negara. Saat ini 4 kelompok musik dari 4 negara sudah bersedia untuk hadir di helat tersebut.
Sebagai langkah awal memulai persiapan Bokor Folklore 2012, pekerjaan demi pekerjaan menanti menunggu tangan yang penuh dedikasi untuk merancang dan menyajikan event Seni dan Wisata di desa Bokor Kec. Rangsang Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. Fiesta Bokor Riviera 2011 menjadi pembelajaran yang berharga untuk menapak langkah kedepan, kesalahan-kesalahan dimasa itu tentu tidak harus terulang kembali. Optimisme yang tergambar pada goresan Logo helat ini mesti meresap kedalam jiwa para panitia pelaksana, masayarkat Desa Bokor sampai ke Pemkab Kepulauan Meranti. Ini adalah ajang mempromosikan daerah ini, menunjukkan kepada dunia bahwa ada deretan Kepulauan Meranti yang berbudaya, memiliki potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia, walaupun baru berdiri namun siap untuk mensejajarkan diri. Harapan-harapan ini tergambar jelas dari goresan Cik Siti atau lebih di kenal didunia Fesbukan dengan Anje Mello. Mari kita berikan apa yang kita bisa untuk daerah ini, selamat bertugas rekan-rekan Panitia, Semoga Allah SWT memberikan kekuatan fisik dan mental untuk kita semua …
   


Persiapan-persiapan pun dilaksanakan bersama masyarakat Bokor. Gotong royong yang dilaksanakan masyakat bokor di 3 dusun, Dusun cempedak, Dusun Durian dan Dusun Kelapa. Persiapan gotong royong ini dilaksanakan dalam rangka menyambut even tahunan Bokor Folklore Festival insya Allah yang akan diadakan pada bulan juni 2012, sekitar puluhan masayarakat tiap-tiap dusun melaksanakan gotong royong ini, tampak kebersihan parit dan jalan sedang dibersihkan warga.

Sejuta kenangan di Fiesta Bokor Riviera tahun 2011 direkam secara apik oleh Attayaya seorang photographer dan blogger dari Komunitas Blogger Bertuah. Semoga pada Bokor Folklore Festival 2012 jauh lebih baik dan meriah. Semoga…
Pengertian Folklor
Kata Folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu Folk dan Lore.Kata Folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik,sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Kata Lore merupakan tradisi dari Folk yaitu sebagai kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak Isyarat atau alat bantu pengingat.
Secara keseluruhan, Folklor merupakan istilah umum untuk aspek material,spiritual,dan verbal dari suatu kebudayaan yang disampaikan secara moral melalui pengamatan atau peniruan.
Ada 4 fungsi Foklor, antara lain :
1.    Foklor sebagai sistem Proyeksi, yaitu sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kelompok.
2.    Foklor sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan
3.    Foklor sebagai alat pendidikan anak anak.
4.    Foklor sebagai alat pemaksa dan penggagas norma-norma agar masyarakat selalu mematuhinya.
Ciri-ciri pengenal utama Foklor,antara lain :
•    Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke genersi berikutnya.
•    Bersifat tradisional yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
•    Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan, akan tetapi bentuk dasarnya tetap bertahan.
•    Bersifat anonim artinya pembuatannya sudah tidak diketahui lagi.
•    Biasanya mempunyai bentuk berpola,kata-kata pembukannya misalnya “ menurut Sahibul Hikayat…(menurut yang empunya cerita)”
•    Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan,pelipur lara,protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam.
•    Bersifat pralogis artinya memiliki logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum,terutama untuk folklor lisan.
•    Menjadi milik bersama (collective) dari masyarakat tertentu
•    Pada Umumnya bersifat lugu atau polos sehingga sering kali kelihatannya kasar atau terlalu sopan, karena merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang jujur.
Jan Harold Brunvand membagi Folklor menjadi 3 kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu :
1.    Folklor Lisan
2.    Folklor sebagaian lisan
3.    Folklor bukan lisan
•    Folklor Lisan
Foklor Lisan yaitu Folklor yang bentuknya murni lisan, Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut :
1.    Bahasa Rakyat, seperti logat bahasa (dialek),slang,bahasa tabu,anomatis,dan lain sebagainya.
Contoh :
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Orang Surabaya lebih sering menggunakan partikel “rek” sebagai ciri khas mereka. Partikel ini berasal dari kata “arek”, yang dalam dialek Surabaya menggantikan kata “bocah” (anak) dalam bahasa Jawa standar. Partikel lain adalah “seh” (e dibaca seperti e dalam kata edan), yang dlam bahasa Indonesia setara dengan partikel “sih”.
Orang Surabaya juga sering mengucapkan kata “titip” secara /tetep/, dengan i diucapkan seperti /e/ dalam kata “edan”; dan kata “tutup” secara /totop/ dengan u diucapkan seperti /o/ dalam kata “soto”. Selain itu, vokal terbuka sering dibuat hambat, seperti misalnya: “kaya” (=seperti) lebih banyak diucapkan /koyo? daripada /k@y@/, kata “isa” (=bisa) sering diucapkan /iso/ daripada /is@/.
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan:
•   
o   
    “Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
    “ae” berarti “saja” (bahasa Jawa standar: wae);
    “gak” berarti “tidak” (bahasa Jawa standar: ora);
    “arek” berarti “anak” (bahasa Jawa standar: bocah);
    “mari” berarti “selesai”;(bahasa Jawa standar: rampung); acapkali dituturkan sebagai kesatuan dalam pertanyaan “wis mari tah?” yang berarti “sudah selesai kah?” Pengertian ini sangat berbeda dengan “mari” dalam Bahasa Jawa Standar. Selain petutur Dialek Suroboyoan, “mari” berarti “sembuh”
    “mene” berarti “besok” (bahasa Jawa standar: sesuk);
“maeng” berarti tadi.
1.    Ungkapan tradisional, seperti pribahasa dan sindiran
Contoh :
No.    Pribahasa ( Bhs.Jawa)    Makna
1.    Cebol nggayuh lintang ( kekarepan kang mokal bakal kelakon)    Keinginan yang baik akan terlaksana
2.    Emprit abuntut bedhug (Perkara sing maune sepele dadi gedhe)    Perkara yang tadinya kecil menjadi besar
3.    Endhas pethak ketiban empyak (wong kang bola-bali nemu cilaka)    Orang yang sering tertimpa celaka
4.    Kacang ora ninggal lanjaran (kebiyasakane anak niru wong tuwane)    Kebiasaan anak meniru orang tuanya
5.    Kaya banyu karo lenga (Wong kang ora bisa rukun)    Orang yang tidak bisa rukun
1.    Pertanyaan tradisional yang dikenal sebagai teka-teki
Contoh :
1.    Urang sapikul matane pira ? (ana 6,Urang,sapi,kul)
2.    Sega sakepel dirubung tinggi,apa ? (salak)
3.    Ana gajah numpak becak,kethok apane ? (kethok mbujuke)
4.    Ngarep ireng,mburi ireng sing tengah methetheng,apa ? (wong mikul areng)
5.    Dikethok malah dhuwur,apa ? (celana)
6.    Kewan apa : sirahe ning sikil,mripate ning sikil,irunge ning sikil,cangkeme ning sikil,pokoke kabeh ning sikil ? (anak pitik kephindak)
7.    Pitik walik saba kebon. (nanas)
8.    Ana tulisan Arab. Macane saka ngendi? (saka alas)
9.    Yen cilik dadi kanca,yen gede dadi mungsuh ? (Geni)
10.    Lampu apa nek di pecah metu uwonge ? (Lampune toko sing lagi ditutup)
1.    Sajak dan puisi rakyat,seperti pantun dan syair.
Contoh :
Dhandhang Gula
Wardining kang sasmitajinarwi
Wruhing kukum iku wetekira
Adoh marang kanisthane
Pamicara Punika
Weh reseping sagung miyarsi
Tata krama punika
Ngedohaken penyendhu
Kagunan boga,dene kelakuan becik
Weh rahayuning anagga
1.    Cerita Prosa Rakyat,seperti mite,legenda dan dongeng.
Contoh : Ajisaka,Malin Kundang,Timun mas,keong mas,lutung kasarung,tanjung menangis, karang bolong,telaga bidadari,dll
AJI SAKA

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.
Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati hutan itu.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya.
Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.
Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya.
Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya.
Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian hilang ditelan ombak.
Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera.
MAKNA SIMBOLIS DAN NILAI-NILAI DALAM KAAGO-AGO (Sebuah Tradisi Masyarakat di Kabupaten Muna) Oleh La Ode Syukur, S.Pd., M.Hum ABSTRAK Kaago-ago merupakan suatu acara ritual yang dilaksanakna oleh masyarakat di kabupaten Muna setiap membuka lahan baru untuk perkebunan. Kaago-Ago yang mempunyai kekuatan simbolis sekaligus sebagai wujud dari ekspresi jiwa mereka dalam menjalin hubungan dengan penghuni dunia ghaib. Pelaksanaan...
Perkawinan dalam masyarakat Muna sangat unik yang berbeda dengan Suku
Lainnya di Indonesia. Sistem perkawinan ini telah ada semenjak dahulu
kala sebelum masuknya agama Islam di Muna. Setelah datangnya Islam dan
diterimanya agama ini oleh seluruh rakyat Muna, sistem perkawinan yang
dahulunya tetap tidak berubah terutama yang berhubungan dengan masalah
mahar (mas kawin). Yang berubah hanyalah proses ijab kabul-nya saja yang
mengikuti ajaran Islam sebagai perkawinan dalam Islam.
Pada suatu ketika salah seorang Cucu Raja La Ode Husein (La Ode
Husein bergelar Omputo Sangia) yang bernama Wa Ode Kadingke (Putri La
Ode Zainal Abidin yang menjadi Kapitalau Lasehao, mungkin semacam
Adipati di Jawa) menikah dengan orang Asing (Suku Bugis). Perkawinan
tersebut ditantang keras oleh Raja Muna yang saat itu bernama La Ode
Sumaili yang tidak lain adalah saudara sepupu Wa Ode Kadingke. Alasan
Raja menentang perkawinan tersebut adalah bertentangan dengan syariat
Islam. Akan tetapi Wa Ode Kadingke yang tidak lain adalah cucu Raja,
tidak menerima hal itu dan mengatakan kepada Raja La Ode Sumaili bahwa
perkawinan dalam Islam yang dilihat hanyalah pada sisi ketakwaannya
dalam arti seiman dalam Islam dan perkawinan tersebut tetap dilanjutkan
sebab Wa Ode Kadingke juga mendapat restu sekaligus dukungan dari Sultan
Buton.
Karena Raja menentang terus perkawinan tersebut, maka Wa Ode
Kadingke menyatakan bahwa La Ode Sumaili harus diperangi, yang pada
akhirnya perang tidak dapat dielakkan. Perang pun terjadi dan pasukan Wa
Ode Kadingke yang dibantu oleh pasukan bantuan dari Kesultanan Buton
mengalahkan La Ode Sumaili. Dari kekalahan ini, La Ode Sumaili ditangkap
dan diberi hukuman cambuk sampai mati sehinngga setelah wafat diberi
gelar Omputo Ni Sombo (Raja yang dihukum cambuk).
Dengan wafatnya Raja, maka Dewan Sara Muna (semacam DPR di negara
kita sekarang ini) memutuskan mengangkat Anak Wa Ode Kadingke dengan
Daeng Marewa yang bernama La Ode Saete menjadi Raja Muna namun karena
masih kecil (kanak-kanak) maka diputuskan bahwa yang memangka Jabatan
Raja sementara adalah Bonto Balano (Perdana Menteri) dan jika raja telah
dewasa, maka Jabatan raja secara otomatis akan diberikan kepada La Ode
Saete.
Raja La Ode Sumaili menentang perkawinan karena menurutnya
bertentangan dengan syariat Islam, padahal sebenarnya Raja tahu bahwa
jika telah seiman sebenarnya perkawinan tetap dapat dilangsukan. Namun
banyak kalangan menduga bahwa pertentangan antara Raja La Ode Sumaili
dengan Wa Ode Kadingke adalah masalah adat saja sebab kemungkinan saat
itu adat perkawinan dalam masyarakat muna belum mengatur perkawinan
dengan suku asing.
Walaupun penulis tidak tahu secara pasti, akan tetapi menurut cerita
orang tua, Dewan Sara mengadakan sidang adat muna di mana ketetapan
tersebut berlaku hingga sekarang.
Dalam masyarakat Muna mengenal juga sistem stratifikasi sosial
sebagai mana dalam Agama Hindu. Sistem Stratifikasi tersebut ditetapkan
pada masa Raja Sugi Manuru (Raja Muna VI ayah dari La Kila Ponto yang
pernah menjadi Raja Konawe, lalu Raja Muna dan menjadi Sultan Buton).
Raja Sugi Manuru adalah sang raja besar yang sering melakukan perjalanan
ke kerajaan-kerajaan tetangga misalnya Buton, Konawe, bahkan sampai ke
Ternate. Dalam kunjungannya ke Ternate, Raja Sugi Manuru kawin dengan
putri Raja ternate dan hasil perkawinanya ini dkaruniahi seorang putri
yang bernama Welanda. Kemungkinan Raja Ternate saat itu adalah Ayah Raja
Hairun sebelum masuk Islam.
Begitu banyaknya keturunan raja, maka Raja Sugi Manuru mulai membagi keturunannya menjadi 4 golongan, yaitu:
1.    Golongan pemerintah atau yang menguasai pemerintahan
diberi nama Golongan Kaomu. Golongan adalah mereka yang berhak menjadi
Raja, Kapitalau (semacam Adipati di Jawa) atau jabatan lainnya yang
menyangkut eksekutif.
2.    Golongan adat yang diberi nama Golongan
Walaka (Biasanya juga dinamakan golongan Sara). Golongan ini adalah
mereka yang berhak menjadi Perdana menteri, mengatur adat, menetapkan
hukum bersama Raja, memilih dan mengangkat raja bahkan berhak mencopot
raja dari jabatannya jika dianggap melanggar hukum negara dan adat serta
agama. Saat itu Raja bukan Jabatan turun-temurun tetapi dipilih oleh
Dewan Sara (secaman DPR). Begitu juga di Kesultanan Buton raja dipilih
oleh Dewan Sara Buton.
3.    Golongan yang menguasai perdagangan, diberi nama golongan Anangkolaki.
4.    Golongan yang keempat adalah golongan Maradika
Penggolongan ini tatap berlangsung walaupun setelah datangnya agama Islam bahkan sampai sekarang ini.
Penulis berhasil mengumpulkan dari berbagai sumber lisan yakni para
orang tua bahwa sistem/adat dalam perkawinan masyarakat muna terutama
mengenai maharnya adalah sebagai berikut:
1.    Jika golongan Kaomu (La Ode) menikahi golongan Kaomu (Wa
Ode) atau golongan di bawahnya, maharnya senilai 20 Boka (Saat ini 1
Boka senilai Rp 24.000,-).
2.    Jika golongan Walaka menikahi
Golongan Kaomu, maka maharnya senilai 35 Boka. Akan tetapi jika menikahi
golongan Walaka juga, maharnya adalah 10 Boka 10 Suku (1 Suku senilai
0,25 boka, jadi 10 boka 10 suku sekitar 12,5 boka). Akan tetapi jika
golongan Sara-Kaomu maharnya adalah 15 Boka. Golongan sara kaomu
(Perempuan Sara-Kaomu) artinya Ayahnya Golongan Walaka dan Ibunya
Golongan Kaomu.
3.    Jila golongan Anangkolaki menikahi golongan
Kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan Walaka,
maharnya adalah 35 Boka. Akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki
juga atau di bawahnya, maharnya adalah 7 boka 2 suku (atau 7,5 boka).
4.    Jika
golongan Maradika menikahi golongan Kaomu maharnya adalah 2 x 75 Boka,
jika menikahi golongan Walaka maharnya adalah 75 bola, jika menikahi
golongan Anangkolaki maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka)
Selaian keempat golongan di atas, dalam adat muna juga mengatur
perkawinan antara orang asing dengan orang muna, yakni sebagai berikut:
1.    Jika orang asing menikahi golongan Kaomu maka maharnya
adalah 130 boka. Keturunannya sebagai Golongan Kaomu, dan jika seorang
laki-laki berhak dipilih menjadi Raja begitu pula di Buton.
2.    Jika orang asing menikahi golongan Walaka maka maharnya adalah 80 boka. Keturunannya sebagai golongan Walaka.
3.    Jika
orang asing menikahi golongan Anangkolaki atau Maradika, penulis belum
mendapatkan informasinya akan tetapi di bawah 80 boka.
Yang dikatakan orang asing adalah suku-suku lain di Indonesia atau
negara asing kecuali Suku Buton (untuk suku buton sistem adatnya sama
dengan muna maka Buton tidak dianggap sebagai suku asing).
Prosesi adat biasanya dilangsungkan sebelum Ijab-Kabul, sebab jika
prosesi adat belum dapat dilakukan atau belum mendapat titik temu, maka
proses Ijab-Kabul belum dapat dilangsungkan. Dalam prosesi adat biasanya
dihadiri oleh toko-toko adat yang mengetahui silsilah keturunan baik si
Laki-laki maupun si Perempuan. Prosesnya secara transparan dan
demokratis.
LA KOLAPONTO ” OMPUTO MEPOKUNDUANGHUNO GHOERA “
Sep17






Rate This
 Lakilaponto Raja Muna VII ( 1538- 1541 M ), adalah manusia yang fenomenal. Dia memimiliki kesaktian yang tinggi, ahli strategi perang, piawai dalam berdiplomasi serta pakar ketata negaraan. Karena kepiawaiannya tersebut LA KILAPONTO pernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu bersamaan, hal ini dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda “ Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelar ‘ mepokonduaghono Adhati’ artinya orang yang menggabungkan adat
Merujuk dari naskah diatas berarti LA KILAPONTO Pernah menjadi raja di Kerajaan Muna, Konawe, Mekongga, Kaledupa dan di Buton. Namun dari semua kerajaan tersebut hanya di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.
LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat setelah beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar.
Sebagai seorang raja di Lima Kerajaan besar LA KILAPONTO tentu saja memiliki kemampuan yang lebih dari yang lainnya. LA KILAPONTO dikenal mewarisi ilmu yang diturunkan oleh ayahandanya SUGI MANURU di bidang Tata Negara, diplomasi dan strategi perang. Potensi yang dimiliki LA KILAPONTO tersebut telah dilihat oleh ayahandanya SUGI MANURU. Olehnya itu sebelum dinobatkan menjadi Raja Muna LA KILAPONTO ditugaskan untuk melaksanakan misi diplomasi dibeberapa kerajaan seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha). Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Hal ini dibuktikan setelah kunjungan diplomatik tersebut sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Kepakaran LA KILAPONTO dalam bidang ketatanegaraan dapat dilihat saat beliau menjaddi penguasa di suatu negeri. Selain Hal ini dapat dilihat pada saat ,menjadi Raja di suatu kerajaan beliau melakukan penataan sisten ketata negaraan Kerajaan tersebut. Beliau juga menanamkan falsafa atau nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu ;
Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Poadha-adhati. (Saling menghormati )
Keempat prinsip dasar diatas wajib dipahami dan dijalankan oleh setiap warga kerajaan dalam hal ini termasuk juga Raja dan aparat kerajaan lainnya.
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
Hansuru –hansuru badha Sumano kono hansuru liwu ( Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan. Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Misalnya Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang diproklamirkan pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597- 1631 M) yang mesakukan nilai-nilai Islam. Konstitusi Kesultanan Buton itu dikenal dengan Martabat Tujuh. DAYANU IKHSANUDDIN adalah cucu LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang bersuamikan LA SIRIDATU.
Menurut A.E. saidi dalam makalahnya pada Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus 2005, Martabat Tujuh di Undangkan oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh yaitu ; 1) Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yang diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU pada tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
Selain alhi di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang diplomasi serta ahli dalam strategi perang. Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta. Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar “HALUOLEO” yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Raja Konawe.
Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :
1. WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V LA MULAE)
2. WA ANAWAY ANGGUHAIRAH ( Putri kerajaan Mekongga )
3. Putri raja Jampea
4. Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
5. WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1. perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2. perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAH memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
3. perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPARASI (Sangia Boleko)
4. perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna)
5. Perkawinan dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wasugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero)
Sedangkan kemampuan strategi perangnya dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO terkenal sakti dan sangat kejam sehingga Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah ‘ barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja ’ yang bernama WA TAMPOIDONGI. WA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut mengundang minat satria-satria di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putrid Raja yang kecantikannya sudah terkenal di mana-mana. Salah seorang petinggi kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah Raja Selayar dan Raja Jampea.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya, namun tidak ada satupun dari satria-satria yang ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton . Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton termasuk Kerajaan Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LAKILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut. Setelah mendengar masukan-masukan dari LAKILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan, SUGI MANURU Raja Muna VI menyarankan pada LA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja LA MULAE, LA KILAPONTO langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO, orang yang telah yang membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya. Selain itu aksi yang dilakukan LABOLONTIO dalam melakukan terror pada kerajaan Buton juga meresahkan Kerajaan-kerajaan lain yang bertetangga dengan Buton termasuk Muna. Sebagai Raja yang lagi berkuasa di Kerajaan Muna LA KILAPONTO bertanggung jawab untuk segera menghentikan sepak terjang LABOLONTIO agar tidak meluas di Kerajaan Muna. Dalam hitungan hari saja LA KILAPONTO sudah menemukan LABOLONTIO hingga terjadi adu tanding.
Dalam pertarungan di pasisir Kerajaan Buton, LABOLONTIO di buat bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO. Sebagai bukti telah membunuh LABOLONTIO, LA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton LAMULAE. Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna. LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya, LA KILAPONTO oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu LABOLONTIO berhak mendapatkan hadia seperti isi dari sayembara yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE harus tetap konsisten menjalankan apa yang telah diucapkan. Untuk itu pernikahan antara LAKILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE, akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putrid raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya di tinggal di Kerajaan Buton bersama Orang tuanya.
Belum cukup satu tahun Menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE. Kesepakatna para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian di sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe.
Atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton, maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar ‘Omputo Mepokonduaghoono Adhati’ artinya orang yang mengawinkan adat.
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe, kerajaan-kerajaan lainya yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Mokole dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Selama tiga tahun LAKILAPOTO menjadi raja di lima kerajaan tersebut, nilai-nilai Islam yang seberbakan seorang Ulama dari Arab SYEKH ABDUL WAHID dan di bantu seorang imam dari Patani yang bernama FIRUS MUHAMMAD mulai mempengaruhi istana Kesultanan Buton. Setelah Islam diterima di Istana dan LAKILAPONTO telah memeluk Islam, maka pemerintahan Buton berubah menjadi kesultanan dan LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan dengan bergelar Sultan MURHUM/ SULTAN KAIMUDDIN KHALIMATUL KHAMIS.
Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948 H/ 1542 M ), LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO menyerahkan jabatannya kepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya. Namun yang pasti pada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII, kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton bagian Utara yaitu Wakorumba dan Kambowa diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO, terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, Setelah Kesultanan Buton bekerja sama dengan Kolonial Belanda dan dalam kerangka politik pecah belah, pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton LA ODE FALIHI, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring ditunjukan oleh raja Muna LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna menggantukan LA ODE DIKA.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ), dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun ( (1488- 1491 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPARASI (Sangi Boleka) Putranya dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga
PROFIL SEJARAH KERAJAAN MUNA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KERAJAAN DI TANAH MELAYU
• • Labels: Sejarah
Muna juga merupakan salah suku besar di Sulawesi Tenggara, bahasa yang dipakai penduduk pribumi juga menggunakan bahasa muna. Daerah ini dahulunya adalah sebuah kerajaan pada permulaan abad ke-15. Banyak peninggalan-peninggalan yang terdapat di gua-gua di daerah ini yang diperkirakan dibuat pada abad XV dan XVI seperti lukisan manusia terbang, prajurit bertombak dan lain-lain.

Pada zaman dahulu daerah ini bernama Wuna yang berarti bunga. Konon nama wuna ada karena adanya batu yang menyerupai bunga dan sewaktu-waktu tumbuh (orang menyebutnya kontu kowuna artinya batu berbunga). Suku-suku lain di Sulawesi Tenggara mengenal muna juga dengan sebutan Wuna. Kecuali jika berbahasa Indonesia, tetap disebut dengan kata muna.

Kisah Sawerigading (Sawerigadi)
Cerita turun-temurun yang melekat pada masyarakat muna bahwa pada zaman dahulu ada sebuah kapal yang bernama Sawerigading (Sawerigadi) yang berasal dari Luwu Sulawesi Selatan. Kapal ini menabrak karang di Pulau Muna. Kapal tersebut lama kelamaan diliputi karang dan menjadilah sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama bukit bahutara (bahutara mungkin berasal bahasa Melayu yakni kata bahtera yang berarti perahu). Bukit tersebut saat ini merupakan bukit batu yang sewaktu-waktu tumbuh dan menyerupai bunga (letaknya di Kota Kuno sekitar 35 km dari ibukota kabupaten muna Raha). Oleh penduduk daerah ini disebut kontu kowuna artinya batu berbunga (Mungkin dari sinilah asal kata Wuna berasal). Pada setiap Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha batu berbunga menjadi tujuan utama warga muna untuk mengambilnya dan dijadikan jimat.

Karena kapal Sawerigading telah menjadi bukit maka ia bersama para pengikutnya mendirikan perkampungan di Pulau Muna dan sebagian awak kapal menuju daratan Sulawesi kira-kira sekitar Kendari dan sekitarnya (Di Kendari ada 2 Kerajaan yakni Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga). Di Pulau Muna juga mereka tidak menetap tetapi selalu berpindah-pindah. Namun kampung-kampung yang mereka dirikan selalu diberi Kampung Gadi (Lagadi) dan Melai/Melay (Wamelai).

Hubungan Kata Gadi dan Melay dengan Sawerigading dan Melayu
Mengapa kampung yang mereka dirikan diberi nama Gadi (Lagadi) dan Melay (Wamelay). Hampir dapat dipastikan bahwa Nama Gadi kemungkinan berasal dari nama Sawerigading (orang muna menyebutnya Sawerigadi). Karena ia seorang laki-laki maka disebutlah dengan nama Lagadi. Karena kebiasaan orang muna menyebut laki-laki selalu diawali dengan kata La atau a untuk laki-laki dan Wa untuk perempuan.
Lalu bagaimana dengan kampung Melay? Sawerigading dan pengikutnya tidak mungkin menamakan kampung yang mereka dirikan tanpa sesuatu sebab. Mungkinkah Melay berasal dari kata Melayu? Penulis memastikan bahwa kata melai/melay mungkin berasal dari kata Melayu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
1.    Masyarakat muna sulit mengungkapkan kata-kata asing menurut kata yang sebenarnya. Contoh: Jerigen (menjadi Dhereke), terpal (menjadi tarapali), coklat (tokolati)
2.     Masyarakat muna menyebut bahasa Indonesia dengan sebutan Wamba Malau bukan Wamba Indonesia. Wamba berarti bahasa. Sampai saat ini pun orang muna tetap memakai kata wamba malau dan bukan wamba Indonesia.
3.     Orang muna menyebut orang Melayu dengan nama Mieno Malau
4.     Adanya beberapa kata dalam bahasa Muna yang sama persis dengan bahasa melayu misalnya hela (berarti tarik), kata ganti kepunyaan –ku, -mu seperti digunakan dalam kata kontumu yang berarti batumu, lambuku yang berarti rumahku. Kata ganti kepunyaan ini juga banyak mempengaruhi bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia.
Jika berasal dari kata melayu, berarti rombongan Sawerigading sebagian adalah orang melayu. Kemungkinan lain adalah rombongan dari Melayu juga datang di Muna dan mungkin saja pimpinan rombongan atau yang berpengaruh dalam rombongan tersebut adalah seorang perempuan (putri). Oleh sebab itu dapat dipastikan pemberian nama kampung yakni Wamelay didasarkan atas pimpinan rombongan itu (Wa sebutan untuk perempuan).

La Eli alias Baidzul Dzaman
La Eli Raja pertama Kerajaan Muna yang bergelar Bheteno ne tombula yang berarti yang muncul dari tolang (tolang adalah sejenis bambu yang sangat tipis dan agak besar). Sebelum menjadi Raja, konon La Eli ditemukan oleh rombongan utusan Kamokulano Tongkuno (Kamokulano berarti yang dituakan atau yang dipertuan di Tongkuno). Rombongan tersebut mencari batang tolang untuk perlengkapan upacara adat saat itu. Sampai saat ini upacara dengan menggunakan tolang tersebut masih ada yakni disebut upacara Kasalasa atau katalasa (upacara adat sebelum bercocok tanam untuk kebun yang baru), ada juga bernama Ka ago-ago yakni upacara untuk memasuki suatu area baru.

Dikisahkan, pada waktu utusan Kamokulano Tongkuno memotong bambu mereka mendengar suara Eh Eh (Menurut La Kimia Batoa dalam Sejarah Kerajaan Muna). Saat mereka memotong lagi, mereka mendengar suara eh eh lagi, akhirnya mereka memutuskan untuk mencari asal suara tadi, ternyata mereka menemukan seorang pria dan pria ini langsung dibawa menghadap Kamokulano Tongkuno. Pria tersebut ditempatkan dalam sebuah ruang khusus yang diberi nama ‘Songino Betheno ne Tombula’ yang berarti Ruangannya orang yang muncul/ditemukan dari tolang lanjut La Kimia Batoa dalam Sejarah Kerajaan Muna, dan orang tersebut diberi nama Bheteno ne Tombula (artinya orang yang muncul dari tolang).

Kata Bheteno ne Tombula terdiri beberapa suku kata yakni Bheteno (yang muncul), ne (di) dan Tombula (tolang/sejenis bambu). Secara harfiah Bheteno ne Tombula memang dapat diartikan yang muncul dari tolang. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang salah menafsirkan. Menurut para tua-tua di muna, bahwa Bheteno ne Tombula (dalam hal ini La Eli) memang muncul dari batang tolang. Namun jika kita kaji makna Kata Bheteno ne Tombula, kita dapat menemukan arti lain. Di atas telah dikatakan bahwa utusan Kamokulano Tongkuno mencari batang tolang. Rombongan Sawerigading (orang muna menyebutnya Sawerigadi) mendirikan perkampungan-perkampungan dan sebagian lagi ke Jazirah Sulawesi Tenggara. Mengapa muncul nama La Eli bukan nama Sawerigading (Sawerigadi)? Penulis belum mengetahui pasti, apakah La Eli dan Sawerigading adalah dua orang yang berbeda, ataupun Sawerigading sendiri hanyalah nama kapal yang ditumpangi La Eli bersama rombongannya. Lepas dari masalah itu, mari kita kembali kepada kata Bheteno ne Tombula. Kata Bheteno bisa berarti yang muncul. Menurut orang tua-tua di muna, La Eli berasal dari batang tolang tetapi sebagian lagi mengatakan ia ditemukan dalam rumput tolang (sejenis bambu) oleh utusan pencari batang tolang dari Tongkuno (Tongkuno saat ini menjadi nama Kecamatan).


Penemuan Wa Tandi Abe (We Tendri Abeng)
Pada suatu ketika di pantai Napabale (saat ini menjadi salah objek wisata di kabupaten muna) ditemukan seorang putri yang sangat cantik dan putri tersebut mencari laki-laki yang telah menghamilinya, yang tidak lain laki-laki tersebut adalah La Eli alias Baidzul Dzaman (di Sulawesi Selatan dikenal nama I Lagaligo, Wa Tandi Abe dikenal dengan nama We Tendri Abeng, Mungkinkah I Lagaligo yang dimaksud adalah La Eli dan We Tendri Abeng adalah Wa Tandi Abe). Kabar penemuan putri ini akhirnya terdengar oleh La Eli dan pada saat itu La Eli mengatakan kepada Kamokulano Tongkuno bahwa putri tersebut adalah istrinya dan mereka berdua berasal dari Kerajaan Luwu.

Mungkinkan Wa Tandi Abe (We Tenryabeng) berasal dari Melayu? Melihat nama Tendryabeng tentunya nama ini adalah nama asli dari Sulawesi Selatan bukan dari tanah melayu. Mungkinkah ia dibesarkan di Tanah Melayu dan tetap memakai nama yang bukan nama Melayu ataupun nama Islam.

Mengapa ia disebut Baidzul Zaman? Cerita yang berkembang dalam masyarakat Muna saat ini bahwa yang pertama kali memimpin Kerajaan Muna adalah Baidzul Zaman yang bergelar bheteno ne tembula (orang-orang tua menyebutnya: Baidhuludhamani). Nama Baidzul Zaman ini tentu saja mengarah kepada nama Islam namun sejak pemerintahan Raja Pertama di muna belum Nampak unsur-unsur Islam. Hal ini terbukti dengan adanya upacara-upacara dalam masyarakat muna yang tidak mencerminkan unsur-unsur islami misalnya upacara Katalasa, Kaago-ago, Kaghotino buku, Kapamole dan lain-lain walaupun hal ini tidak disadari oleh tua-tua di Muna bahwa pada awal mula kerajaan ini masyakatnya belum memeluk Islam, akan tetapi nanti pada masa pemerintahan La Posasu (Raja Muna VIII) masyarakat muna sudah mulai memeluk Islam. Lantas, mengapa ia dikenal dengan nama Baidzul Zaman? Menurut penulis bahwa nama itu dipakai La Eli saat berada di tanah Melayu karena masyarakat tanah melayu saat itu sudah memeluk Islam, olehnya itu agar La Eli bisa bergaul dengan masyarakat Melayu saat itu, ia memakai nama Islam dan berperilaku sebagai orang Islam atau mungkinkah sudah memeluk agama Islam.

Dari Situs Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo) dikatakan bahwa Sawerigading adalah Saudara Kembar We Tendriyabeng dan Sawerigading menikahi We Tenriyabeng. Dalam naskah tersebut dikatakan bahwa Sawerigading putranya bernama I Lagaligo. Mungkinkah Lagaligo adalah La Eli atau keturunannya, tidak ada pendapat yang pasti. Namun terlepas dari itu penulis berpendapat bahwa We Tenriyabeng sebenarnya adalah Wa Tandi Abe sebab orang muna tidak dapat (sudah) melafalkan kata Tenriyabeng. Kemungkinan Kata Tenriyabeng ini menjadi Tandi Abe dalam bahasa Muna. Apakah Wa Tandi Abe di sini adalah sang Putri dari Melayu. Penulis juga tidak dapat memastikannya, yang jelas La Eli dan Wa Tandi Abe adalah Raja dan Permaisuri pertama Kerajaan Muna.

Menurut La Kimia Batoa dalam Buku Sejarah Kerajaan Muna, bahwa Wa Tandi Abe mengendarai sebuah dulang (sejenis Loyang) yang dalam bahasa Muna disebut Palangga (ia digelari Sangke Palangga) hingga ia ditemukan di Muna. Mengapa seorang putri mengendarai dulang? Menurut penulis bahwa kapal yang ditumpangi Tandi Abe mungkin tenggelam dan terpisah dengan rombongan kapal Sawerigading. Perkiraan penulis La Eli menumpangi Kapal Sawerigading sedangkan Wa Tandi Abe menumpangi kapal lain. Disebutkan di atas bahwa kapal Sawerigading menabrak karang di pulau muna, kemungkinan ini terjadi karena adanya cuaca buruk. Kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe kemungkinan akibat cuaca buruk terbawa oleh arus laut dan akhirnya tenggelam. Kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe tentunya di dalamnya banyak pelayan dan prajurit sehingga walaupun kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe tenggelam tetapi berkat bantuan dari para pelayan dan prajuritnya Wa Tandi Abe selamat dari maut. Kemungkinan yang bisa terapung di dalam air adalah dulang maka dulang ini kemungkinan didorong oleh prajurit sambil berenang menuju ke daratan. Lagi-lagi menurut penulis, kemungkinan rombongan Wa Tandi Abe berasal dari Tanah Melayu sebab kampung yang didirikan rombongan kapal Sawerigading selalu diberi nama La Gadi dan Wa Melay sebab pemberian nama suatu kampung/negeri karena adanya suatu sebab, seperti halnya penemuan Benua Amerika yang diambil dari salah seorang Juru Tulis saat itu yang bernama Amirico Vesvusi. Oleh karenanya rombongan Kapal Sawerigading selalu memberi nama kampung yang mereka dirikan dengan nama La Gadi atau Wa Melay yang menandakan bahwa mereka berasal dari Sulawesi Selatan (Saweri Gadi) dan dari Tanah Melayu (Wa Tandi Abe). Wallahu A’lam
MENELUSURI KEMBALI TRADISI LISAN ETNIK MUNA "YANG TERSISA"

HARDIN*

Foklor lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) ungkapan tradisional (palenda “sindiran”, falia “pemali”); (b) nyanyian rakyat ( modero ‘nyanyian rakyat dilakukan pada saat merayakan musim panen pertanian’ , kantola ‘'berbalas pantun’, kabhanti gambusu ‘nyanyian rakyat dilakukan  pada saat merayakan musim panen pertanian,pesta-pesta rakyat ); (b) bahasa rakyat (patamondono ‘tokoh masyarakat’, modhi anahi ‘tokoh agamalebih  muda’, modhi kamokula ‘tokoh agama  yang lebih tua, koghoerano/kosangiano ‘yang berkuasa dala satu kampung’ , aro desa ‘julukan mantan kepala desa’; (d) teka-teki (wata-watangke’ bentuk tanya jawab yang yang biasanya dilakukan anak-anak’ )  (e) cerita rakyat (kapu-kapuuna ‘dongeng’. Misalnya:   kapoluka bhe ndoke ‘cerita rakya kura-kura denga monyet’ , kau-kaudara ‘bentuk nyanyian rakyat biasanya dinyanyikan seorang ibu saat menidurkan anaknya’                                              Foklor setengah lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) drama rakyat (…….); (b) tari ( Linda ‘ tarian biasanya diperankan dipanggung saat proses pernikahan’, owele ‘sejenis tarian biasanya diperankan anak muda dan orang tua sebelum proses pernikahan ); (c) upacara ( kampua ‘upacara pencukuran rambut bayi yang berumur sekitar 44  hari, kasambu ‘upacara ini dilaksanakan apabila bayi dalam kandungan telah berumur tujuh bulan’, katoba ‘uapaca pengislaman seorang anak yang berusia 7- 10 tahun’,  karia ’upacara pembinaan menta anak wanita apabila telah mencapai usia 13 tahun atau pada haid pertama’,  kagaa ‘upacara perkawinan , omate ‘upacara  kematian’. Upacara kematian terbagi atas: a)  kakadiu ‘upacara pembersihan mayat  sebelum di kubur’ , oalo ‘ upacara malam keempatnya’, oefitu, ‘upacara malam ketujuh’  omoghono ‘upacara malam ke seratus’ , patai ‘upacara hari ketiga, , oseriwu ‘upacara hari ke seribu’. Upacara di bidang pertanian yakni: 1) Kafematai adalah upacara penaburan bibit pertama yang bertujuan agar tanaman tumbuh subur dan berhasil, tidak diganggu oleh hama dan pemilik kebun selalu sehat dan selamat; 2) Kafindahino wite atau katambori atau kasolono wite[1] adalah upacara pertama waktu membuka ladang, yang bertujuan untuk mengetahui apakah tanahnya cocok untuk diolah atau tidak; 3) Kaago-ago adalah upacara menyambut kedatangan musim barat yakni memohon keselamatan dan meminta bantuan pada makhluk ghaib supaya dalam musim ini terhindar dari marabahaya dan produksi jagung berhasil dengan baik; 4) Kaghotino Katumpu adalah memberi hadiah sebagai ungkapan terima kasih kepada pohon-pohon  yang telah mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan umat manusia; 5) Kafotobo adalah upacara yang dilaksanakan ketika tanaman jagung mulai berbunga; 6) Kabelai adalah upacara yang dilaksanakan ketika bakal buah jagung mulai ada, dengan tujuan agar bakal buah cepat berisi dan berbuah bagus; 7) Katumbu adalah upacara berupa pesta yang biasanya dihadiri oleh sejumlah undangan sebagai tanda syukur kepada makhluk ghaib yang telah memelihara tanaman jagung hingga berhasil; 8) Katongka adalah upacara panen kedua, yang dilaksanakan ketika jagung berumur 90 hari yaitu ditandai pada kulitnya yang telah mulai kering. (d) permainan dan hiburan (tunuha ‘perayaan kesyukuran atas hasil pertanian mereka yang dihadiri masyarakat umum, pokadudi ’jenis mainan anak-anak atau dewasa yang terbuat dari kayu dengan menggunakan biji-bijian’ , polangkakope ‘sembunyi-sembunyi’, pohule ‘jenis mainan anak-anak yang terbuat dari kayu berbentuk runcing ujungnya yang biasanya dipertandingkan dalam masyarakat’, pokaghati ‘layang-layang’; (e) adat kebiasaan ( pokaowa ‘kegiatan tolong menolong/saling membantu secara bergiliran, pokadulu’ kegiatan sosial dalam masyarakat secara bergotong royong’), (f) pesta rakyat (…………..).
Foklor nonlisan terdiri atas: (a) material (mainan: poelo ‘ main kelereng’, pobente ‘berkejar-kejaran sampai dapat’, pakaian:  bheta kamooru ‘sarung tenunan’, makanan:  kambose ‘ jagung tua yang di rebus’ makanan khas Muna’, obat-obatan: rokapaea ‘daun pepaya’ obat sakit malaria’, (b) bukan material (osuli ‘seruling’, kapu-puu ‘terompet yang bahannya  dari batang padi dan janur’.
Tradisi lisan dalam masyarakat Muna meliputi antara lain: (a) sastra lisan (..........); (b) teknologi tradisional (kagili ‘alat penggiling  jagung muda yang terbuat dari kayu’, pando newulu ‘tombak yang terbuat dari bamboo yang digunakan untuk menombak babi atau anjing’,  katumbu ‘alat penumbuk jagung atau padi yang terbuat dari kayu’); (c) unsur religi dan kepercayaan masyarakat di luar batas formal agama-agama besar, misalnya (kantisele/ karoro ‘proses pengobatan  tradisional melalui mantra-mantra’ , ghoti isa ‘ritual yang bertujuan untuk memudahkan mendapat rezeki atau kemudahan dalam  segala urusan’.
            Nantikan pada episode selanjutnya, tuk kelengkapan tulisan di atas…

MAKNA SIMBOLIS DAN NILAI-NILAI DALAM KAAGO-AGO
(Sebuah Tradisi Masyarakat di Kabupaten Muna)
Oleh
La Ode Syukur, S.Pd., M.Hum.
ABSTRAK
Kaago-ago merupakan suatu acara ritual yang dilaksanakna oleh masyarakat di kabupaten Muna setiap membuka lahan baru untuk perkebunan. Kaago-Ago yang mempunyai kekuatan simbolis sekaligus sebagai wujud dari ekspresi jiwa mereka dalam menjalin hubungan dengan penghuni dunia ghaib.
Pelaksanaan acara kaago-ago mempunyai kandungan nilai dan makna bagi kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut berupa baik-buruk, perintah dan larangan yang dianggap sebagai suatu nilai yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.
Nilai-nilai itu berupa nilai religious yang mengajak masyarakat untuk selalu taat kepada perintah Allah dan nabi, serta ancaman terhadap yang melanggar aturan yang berlaku, serta nilai gotong-royong yang dijujung tinggi oleh masyarakat dalam setiap sendi kehidupan khususnya dibidang pertanian mulai dari pengolahan lahan samapi panen, di samping itu juga kaago-ago sebabgi media masyarakat untuk berkomunikasi berbagai masalah yang dihadapi
Saat ini kaago-ago mulai terncam punah. Oleh karena itu harus tetap dipertahankan atau dilestarikan seiring dengan lunturnya nilai religious dan nilai gotong rong di masyarakat
I. Pendahuluan
Di Indonesia terdapat bermacam ragam suku yang dapat menciptakan budayanya masing-masing, mengungkapkan identitas dan tradisi budaya setiap kelompok itu. Budaya itu merupakan asset yang bernilai dan menunjukan bahwa bangsa Indonesia bangsa yang berperadaban. Salah satu kekayaan itu antara lain berupa folklor.
Seorang ahli folklore AS Jan Harold Brundvand, menggolongkan folklore dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yakni (1) folklore lisan (verbal folklore), (2) folklore sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) folklore bukan lisan (non verbal folklore)(Dananjaya, 2002:21). Folklore lisan bentuknya murni lisan seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pernyataan tradisional, puisi rakyat, nyanyian rakyat dan cerita prosa rakyat. Folklor sebagian lisan adalah folklore yang bentuknya merupakan gabungan unsur lisan dan bukan lisan, seperti kepercayaan rakyat dan permainan rakyat. Pelaksanaan Upacara adat pada setiap etnis memiliki ciri khas tersendiri.
Kepercayaan rakyat selau berkaitan dengan keagamaan, pertanian, dan acara yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa alam. Salah satu kepercayaan rakyat di Kabupaten Muna adalah Kaago-ago.
Berdasarkan uraian di atas Kaago-ago dapat dikelompokkan dalam folklore sebagian lisan yaitu kepercayaan rakyat. Kaago-ago merupakan suatu acara ritual yang bersifat sakral yakni sebagai suatu kekuatan simbolis sekaligus sebagai wujud dari ekspresi jiwa mereka dalam menjalin hubungan dengan penghuni dunia ghaib.
Acara kaago-ago biasanya dilaksanakan oleh masyarakat Muna pada saat membuka lahan baru untuk kebun. Kegiatan ini dilaksanakan di tengah-tengah kebun dengan tujuan agar doa (mantra) yang dibacakan pada waktu pelaksanaan acara dapat tersebar merata pada kebun-kebun disekitarnya. Acara kaago-ago dipimpin seorang parika (dukun kebun) yang mempunyai kemampuan dan berkekuatan sakti untuk berkomunikasi langsung dengan penghuni dunia ghaib seperti roh nenek moyang, jin-jin dan mahluk halus lainnya.
Pelaksanaan acara kaago-ago mempunyai kandungan nilai dan makna bagi kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut berupa baik-buruk, perintah dan larangan yang dianggap sebagai suatu nilai yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Menurut asumsi masyarakat, apabila acara kaago-ago tidak dilaksanakan maka akan membawa dapak negative terhadap anggota masyarakat, antara lain tanaman gagal panen (tidak dinikmati hasilnya) atau mudah ditimpa penyakit. Kaago-ago merupakan penangkal bagi masyarakat khususnya yang membuka lahan baru agar terhindar dari gangguan mahluk ghaib (jin dan setan)
II. Proses Pelaksanaan Kaago-Ago
Acara kaago-ago dilaksanakan setelah pembersihan lahan dan telah siap untuk ditanami tanaman. Sebelum pelaksanaan kaago-ago terlebih dahulu diadakan pertemuan untuk mentukan hari pelaksanaan yang dipimpin oleh masyarakat yang dituakan dalam lokasi hamparan lahan itu. Dalam musyawarah itu diperoleh kesepakatan kapan pelaksanaannya yakni hari yang baik. Pemilihan hari yang baik dimaksudkan agar pelaksaan acara tidak mendapat hambatan.
Sebelum pelaksanaan, masyarakat mempersiapkan kelengkapan acara berupa alat-alat pertanian seperti parang, pacul, tembilang, sabit, kampak; bahan-bahan pelaksanaan (telur ayam kampung yang sudah direbus 1 butir, air, dan kayu yang sudah diruncingkan, bendera (tombi), nasi, tembakau, dau sirih, pinang dan kapur sirih.
Pelaksanaan kaago-ago yang dipimpin dukun kebun, mula-mula menancap kayu (kalombuno wite) yang sudah diruncingkan sedalam-dalamnya sehingga terbentuk sebuah lubang yang digunakan untuk memasukan telur ayam lalu disiram dengan air sebanya-banyaknya. Menyediakan sesajian berupa telur, nasi, rokok, sirih, kelapa muda yang sajikan di atas para-para yang terbuat dari bambu. Selanjunya parika (dukun kebun) memotong ayam sebagai kurban kemudian melafalkan mantra (doa pembuka) sebagai berikut:
E…, waompu lahataala fosakarino lima fosakarino ghaghe
Fowurano, foburino gumantano karondo kamentae
Aesalo tulumi omuru bhe adadi, konae amago-agoemo tora wite aini
Tadawuluno limaku, tadawuno ghagheku
Neago-ago kanandoono te aowalino
Neago-ago Omputo Allah Ta’ala
Neago-ago Omputo anabi
Neago-ago te tumbuno tumbu
Neago-ago te wawono wawo
Lahae sosumoba-sobano lakunu
Somodaino neati ne wite aini
Naorepu, naosoka, naeghefi-ghefi, naeghabu-ghabu
Natumumbulao fotuno we wite morani
Notundae Barangka, Tongkuno, Peropa, Baluwu, Dete Katapi
Neago-ago Ali, neago-ago muhmmadhi
Setelah itu dilanjutkan dengan mengelilingi kebun (kapalikino galu)oleh parika seraya berdoa agar penghuni dunia ghaib tidak mengganggu mereka selama menempati kebun tersebut. Setelah itu pembacaan doa dengan tujuan agar petani yang berkebun di lokasi tersebut terhindar dari bahaya, bencana atau wabah penyakit yang akan menimpa mereka, sehingga mereka dapat hidup bahagia, aman dan damai. Setelah selesai pembacaan doa dilanjutkan dengan makan bersama dan setesurnya mencari waktu yang baik untuk menanam.
III. Makna Simbolis Kaago-Ago
 Kalombuno Wite, dilakukan dengan tujuan untuk memnculkan humus tanah supaya tanaman menjadi subur. Kalombuno wite mengandung makna bahwa manusia berasal dari tanah, hidup dari tanah dan akan kembali ke tanah. Tanah menjadi sumber kehidupan bagi manusia harus dipelihara, dan sebagai wujud terma kasih terhadap tanah maka ditanamkan telur dan disirami air sebanya-banyaknya.
 Kapalikino galu bertujuan agar roh ghaib berupa setan dan jin jahat pergi jauh dari lokasi perkebunan itu, atau agar tidak menggangu mereka selama menempati lokasi itu. Di samping itu, parika mendoakan supaya selamat jauh dari bala. Pariaka dianggap mampu melakukan komunikasi dengan mahluk ghaib, dan memberitahu kepada mereka untuk meninggalkan lokasi perkebunan itu.
 Tombi (Bendera) sebagai pertanda bahwa kebun itu akan digunakan oleh manusia dalam mencari hidup dengan usaha bertani. Ini juga melambangkan perjanjian dengan penghuni alam ghaib di sekitar lahan. Bendera ditantanp dengan menyatakan rentang waktu mengenai lamanya kebun itu akan diolah oleh petani.
 Nasi, telur, pinang, rokok dan sirih, merupakan sajian yang diperuntukan kepada mahluk ghaib. Hal ini masyarakat beranggapan sama dengan manusia yang setiap saat makan, minum, merokok untuk mahluk ghaib laki-laki dan makan sirih untuk mahluk ghaib perempuan. Hal ini menunjukan adanya komunikasi yang erat antara masyarakat dengan mahluk ghaib.
IV. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Kaago-Ago
a. Nilai Religius
Nilai ini tumbuh bersamaan dengan keyakinan masyarakat tentang kandungan alam semesta. Masyarakat percaya dan pekah terhadap kekuatan supranatural. Bahkan, masyarakat berpikir bahwa keberadaanya di dunia ini tidak berarti apa-apa tanpa mmpercayai kekuatan ghaib.
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kehidupan alam ghaib. Acara kaago-ago merupakan tradisi yang dilakukan untuk menjebatani kehidupan manusia dengan alam ghaib. Dalam acara kaago-ago, kita dituntuk senantiasa berakhlak mulia, tidak boleh melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehidupan beragama dan norma-norma yang dianut masyarakat secara turun-temurun.
Untuk terlaksananya semua hal di atas dalam acara kaago-ago memiliki beberapa pantangan yang bernilai religious antara lain (1) Para petani yang berkebun di lokasi tersebut tidak boleh berbuat hal-hal yang tidakk senonoh, seperti berzina dan perbuatan lain yang dilarang agama; (2) tidak boleh mencuri dan memukul binatang apalagi membunuhnya. Apabila hal ini dilanggar maka orang atau kebun yang bersangkutan tidak akan membawa berkah, tetapi akan mendapatkan bencara seperti serangan hama babi, tikus dan sebagainya.
Dalam teks batata (doa) menunjukan adanya permohonan kepada Allah swt. agar mereka selamat, hasil melimpah, tenang dan damai serta ancaman barang siapa yang meranggar akan hancur binasa.
b. Nilai Gotong-Royong dan kebersamaan
Dalam acara kaago-ago di samping nilai-nilai religious juga tumbuh nilai gotong-royong dan kebersamaan. Nilai ini sudah menjadi ciri khas masyarakat petani. Nilai ini tampak pada saat pengolahan lahan, penananaman hingga saat panen, termasuk dalam pelaksanaan acara. Masyarakat saling membantu antara satu dengan yang lain dari proses awal berkebun sampai panen termasuk menghadapi masalah yang berhubungan dengan pertanian dan perkebunan selalu dimusyawarahkan, misalnya serangan wabah penyakit tanaman. Acara kaago-ago juga merupakan media yang efektif bagi petani untuk saling tukar pikiran.
V. Kesimpulan
Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kaago merupakan acara ritual masyarakat yang sudah terancam punah sehingga harus tetap dipertahankan kelestariannya
2. Kaago-ago mengandung nilai religius yang menganjurkan kepada masyarakat untuk berbuat baik dan ancaman bagi yang melanggarnya,
3. Kaago-ago mengandung nilai gotong royong dan menjadi sarana komunikasi bagi petani untuk menyelesaikan masalah khususnya di bidang pertanian. Pada saat ini inilai gotong-royong telah luntur di masyarakat karena pengaruh budaya barat.